Sebenarnya keadaan ini dimulai dari akhir tahun lalu, ketika
Pemeritah menaikkan harga BBM, mencabut subsidi BBM, mengalihkan subsidi
BBM—atau apalah namanya. Secara pribadi saya setuju tentang pengurangan subsidi
BBM karena saya menganggap subsidi ini sudah tidak seharusnya lagi. Subsidi BBM
paling banyak dinikmati di kota-kota besar, terlebih lagi di pulau jawa, yang
SPBU-nya ada di setiap kecamatan. Untuk menggerakkan perekonomian katanya.
Pikirkan saja sendiri, yang lebih butuh BBM untuk menggerakkan perekonomian di
mana. Setidaknya itu dasar pemikiran saya tentang pengurangan subsidi BBM.
Bagaimana dengan sebagian orang dengan ekonomi lemah maupun
ekonomi menuju lemah? Tidak punya hatikah saya? Sampai saat ini saya masih
tidak tahu jawabannya. Saya tidak punya hati?
Ini ujian. Saya meyakinkan diri saya, bahwa ini adalah ujian ekonomi. Dalam
kurva penawaran dan permintaan, harga keseimbangan akan bergerak bergantung
dari pergerakan permintaan dan penawaran. Setidaknya itu dasar pemikiran saya
selanjutnya.
Hei, hukum permintaan dan penawaran itu akan berlaku kalau
itu bukan barang pokok! Apakah iya? Saya juga memang tidak terlalu tahu, saya cuma
pernah menjadi seorang mahasiswa ekonomi jadi-jadian. Cuma mahasiswa yag pernah
belajar ilmu teori ekonomi. Cuma sok tahu, sok menganalisis ini-itu secara
dangkal.
Apakah saya tidak punya hati? Hati saya berkata, seharusnya
para pengambil kebijakan memang tidak tinggal diam. Menghilangkan, mengurangi,
mencabut subsidi BBM akan memang akan membuat masyarakat terkejut. Mereka akan
terus menyalahkan Pemerintah, menuduh ini-itu. Tentu saja untuk menstabilkan
pasar, untuk meredam gejolak, Pemerintah harus melakukan intervensi. Ahh… normatif
memang. Klise!
Tak apalah, saya masih punya hati, kan?
Komentar
Posting Komentar