“Sist, yang ini barangnya masih ada?”, “Harganya
berapa?”, “Cek inbox ya, say…” Percakapan tersebut hampir selalu dapat dijumpai
oleh setiap orang yang aktif di media sosial. Namanya juga media sosial, maka
pemakaiannya pun juga digunakan untuk aktvitias sosial manusia, tak terkecuali
bertransaksi jual-beli. Konon, para pelaku e-commerce
di media sosial ini ada yang bisa jalan-jalan ke luar negeri minimal dua kali
dalam setahun. Tak terbayang banyaknya perputaran uang yang terjadi dari e-commerce di media sosial ini. Potensi
perpajakannya juga. Namun, pengenaan pajak kepada para pelaku e-commerce ini masih rendah. Setidaknya
ada tiga alasan yang menyebabkan pengenaan pajak tersebut rendah, yaitu, karena
memang rendahnya kesadaran perpajakan para pelaku e-commerce, transaksi di media sosial yang sulit terlacak, dan Pemerintah
enggan membangun trust di media
sosial lewat iklan di media tersebut.
Hal pertama yang menjadi alasan rendahnya pengenaan
pajak dari e-commerce di media sosial
adalah rendahnya kesadaran dari para pelaku e-commerce
terkait pelaporan pajak dari penghasilan yang mereka dapatkan lewat jual beli
di media sosial. Jumlah pegawai pajak yang masih sangat kurang membuat praktik tax evasion begitu subur. E-commerce menggunakan dunia maya
sebagai media jual-belinya. Hambatan-hambatan dalam melakukan transaksi
jual-beli dapat terus-menerus ditekan sehingga semakin lama transaksi jual-beli
dalam dunia maya akan meningkat dan melampaui transaksi di dunia nyata. Namun,
dalam dunia nyata, kita gak bayar pajak
aja gak ketahuan, apalagi di dunia
maya…
Berikutnya, Para pelaku e-commerce menganggap media sosial adalah wilayah bebas. Siapapun
bisa saja memakai media ini untuk berjualan, asalkan para penjual dan pembeli
suka sama suka, maka mereka bertransaksi. Seringkali di media sosial, antara
penjual dan pembeli memakai fasilitas rekber atau rekening bersama, yaitu jasa
pihak ketiga yang memang sudah terpercaya untuk menangani transaksi antar pihak
yang masih ragu. Namun siapa yang bisa menjamin bahwa Si Ucok memang
benar-benar Ucok? Bisa saja Ucok adalah Bambang yang disuruh neneknya membeli
barang keperluan secara online namun
dengan menggunakan akun media sosial si Ucok. Asal mereka sudah deal, soal siapa sebenarnya mereka, ga bakal ketahuan orang pajak ini, ya kan?
Terakhir, sebenarnya Pemerintah sudah mafhum bahwa ini
adalah zamannya internet, zamannya semua orang bisa mengakses internet, dan
lagi sebagian besar internet itu digunakan untuk bermedia sosial, namun Pemerintah
luput untuk memanfaatkan media sosial untuk mengiklankan berbagai hal yang
dapat membangun kepercayaan mengenai Pajak. Padahal, walaupun dalam media
sosial sulit untuk melacak tentang kebenaran data para penggunanya, media ini
punya fitur lain yang lebih bisa dimanfaatkan, yaitu fitur alogaritma interest. Fitur ini dapat melacak
bagaimana kecenderungan si pengguna media sosial. Jadi, iklan yang dibuat
Pemerintah, dalam hal ini otoritas perpajakan, dapat lebih mengena berdasarkan
preferensi aktivitas si pengguna sosial. Dengan penggunaan iklan di media
sosial, bukan hanya para pelaku e-commerce
saja yang ditingkatkan kepercayaannya, namun masyarakat lain yang masih diem-diem bae ga bayar pajak.
Membangun kemandirian bangsa sudah pasti merupakan
idaman segenap warga negara Indoenesia, dan salah satu caranya adalah melalui
kemandirian pendanaan pembangunan lewat perpajakan. Sudah seharusnya para
pengguna media sosial, tak terkecuali para pelaku e-commerce di media tersebut semakin sadar akan kewajibannya
membayar pajak. Dan biar pun kebenaran data dari para pengguna sosial masih
mungkin diragukan, Pemerintah seharusnya bisa lebih kreatif memanfaatkan
fitur alogaritma interest di media sosial agar usaha meningkatkan trust masyarakat dari iklan di media
tersebut dapat lebih mengena ke penggunanya.
Komentar
Posting Komentar